Into the Spider Verse Funny Frames
Jakarta -
Setelah tiga seri 'Spider-Man' dengan tiga sutradara dan dan pemain yang berbeda (Tobey Maguire dengan sutradara Sam Raimi; Andrew Garfield dengan sutradara Marc Webb dan Tom Holland dengan sutradara Jon Watts), dunia sepertinya tidak membutuhkan satu lagi film tentang si pahlawan dengan jaring laba-laba di tangannya lagi. Apalagi Spider-Man yang paling terakhir sudah cukup meramaikan wahana Marvel yang ramai.
Tapi ternyata takdir berkata lain. Kita sekali lagi mendapatkan film tentang Spider-Man. Kejutannya adalah yang terbaru ini mungkin menjadi entry Spider-Man terbaik sejak 'Spider-Man 2'.
Dengan judul 'Spider-Man: Into The Spider-Verse' film ini ditampilkan dalam bentuk animasi. Anda jangan skeptis dulu. Karena di tangan sutradara Bob Persichetti, Peter Ramsey dan Rodney Rothman dengan skrip dari Phil Lord dan Rodney Rothman, Spider-Man: Into The Spider-Verse adalah sebuah hadiah bagi penggemar Spider-Man mana pun. Film ini bahkan bisa menjadi obat bagi Anda yang sudah mulai jenuh dengan film superhero. Terutama jika Anda baru saja menonton film superhero yang ceritanya tentang dewa laut mencari trisula.
Percayalah, 'Spider-Man: Into The Spider-Verse' tidak akan menawarkan jokes-jokes setengah jadi. Selain visualnya yang spektakuler (percayalah, visualnya sangat spektakuler), humor di dalamnya adalah salah satu faktor yang menjadikan Spider-Man: Into The Spider-Verse sebagai salah satu film superhero (dan animasi) terbaik tahun ini.
Foto: (imdb.)
Tentu saja dalam film ini kita masih menyaksikan Peter Parker. Tapi bukan dia tokoh utamanya. Tokoh utamanya adalah seorang remaja African-American bernama Miles Morales (disuarakan oleh Sameik Moore) yang sebenarnya tidak ingin sekolah di sekolah barunya. Miles Morales terkenal di kalangan teman-temannya, dia sudah nyaman dengan rutinitas ini. Hal terakhir yang ia inginkan adalah pindah sekolah. Tapi karena ayahnya yang bekerja sebagai polisi New York, Jefferson Davis (disuarakan oleh Bryan Tyree Henry, yang kemarin juga nongol di Widows), memaksa karena ia sudah "terseleksi" maka Miles Morales tak ada pilihan lain selain menurut.
Di tengah kesibukannya adaptasi dengan sekolah barunya yang kaku, Miles Morales mencari kesenangan dengan bergaul dengan pamannya yang mengerti dia. Ia adalah Paman Aaron (disuarakan oleh Mahershala Ali) yang sepertinya sudah tidak lagi dekat dengan ayahnya. Ketika ia dan Paman Aaron sedang membuat graffiti di bawah New York, Miles Morales digigit laba-laba dan ia pun mendapatkan kekuatan seperti layaknya Spider-Man.
Semuanya nampak baik-baik saja. Bahkan ketika Miles Morales susah untuk mengendalikan kekuatannya seperti tangannya yang selalu lengket. Masalah terjadi ketika Miles Morales menyaksikan Kingpin (disuarakan oleh Live Schreiber) membunuh Spider-Man (disuarakan oleh Chris Pine) yang mencoba untuk menghentikan Kingpin membuka portal dimensi. Sebelum meninggal dunia, Spider-Man meminta Miles Morales untuk menghentikan Kingpin melakukan aksinya lagi.
Foto: (imdb.)
Dengan pengalaman yang masih nol, Miles Morales tentu saja galau. Dia tidak tahu harus bagaimana. Masuklah Spider-Man dari dimensi lain (disuarakan oleh Jake Johnson). Dia tidak seperti Spider-Man yang selama ini Miles Morales kenal. Kali ini dia berantakan, serampangan, miskin, seorang duda dan perutnya buncit. Belum lagi kelakuannya yang seenak udelnya. Kejutan tidak berhenti disana. Muncul Spider-Man dari dimensi-dimensi lain.
Seperti Spider-Gwen (disuarakan oleh Hailee Steinfeld), Spider-Noir yang hitam putih (disuarakan oleh Nicolas Cgae) dan sering menghantam Nazi, SP//dr alias seorang gadis remaja Jepang dengan robotnya (disuarakan oleh Kimiko Glenn) dan Spider-Ham, seekor babi secara literal yang juga ternyata adalah pahlawan super (disuarakan oleh John Mulaney). Akhirnya mereka bersama-sama berusaha menghentikan rencana Kingpin.
Dengan karakter sebanyak itu dan semuanya memiliki karakteristik dan kepribadian yang begitu spesifik, Spider-Man: Into The Spider-Verse mempunyai potensi untuk menjadi sebuah film yang tidak koheren atau fokus. Tapi ternyata tidak. Spider-Man: Into The Spider-Verse justru terasa sangat fokus dan jelas. Menyaksikan origin story melalui mata Miles Morales memang menarik karena dia tidak seperti Peter Parker yang selama ini kita kenal. Tapi menyaksikan Miles Morales berjuang bersama-sama dengan Spider-Man Spider-Man lain ternyata adalah highlight utama film ini.
Pembuat Spider-Man: Into The Spider-Verse sepertinya tahu benar bahwa kita sudah lelah menyaksikan begitu banyak origin story Spider-Man. Dan mereka menertawakan itu bersama-sama. Dengan track record seperti dua jilid remake 21 Jump Street dan Lego Movie, pembuat film ini tahu bagaimana cara memproduksi lelucon yang fresh. Spider-Man: Into The Spider-Verse juga bisa menjadi lawan Deadpool yang sepadan dalam konteks menertawakan diri sendiri. Seperti Deadpool dan sekuelnya, film ini sangat sadar dengan dunianya dan pop culture. Pembuat film ini dengan cemerlang memparodikan pop culture antara satu dimensi dengan dimensi lain. Perhatikan nama Coca Cola antara dimensi satu dan dimensi lainnya. Atau bagaimana film Kristen Wiig berjudul Bridesmaids berganti menjadi Baby Showers.
Foto: (imdb.)
Tapi tentu saja, seperti yang sudah saya utarakan di atas, juara utama dari Spider-Man: Into The Spider-Verse adalah visualnya. Menyaksikan film ini rasanya seperti sedang fly. Warna-warnanya menampar kita dengan keras. Dengan frame rate yang sengaja dibuat lebih sedikit dari frame rate rata-rata animasi (film ini menggunakan 12 frame rate per seconds dibandingkan rata-rata animasi yang menggunakan 24 frame rate per seconds), menonton Spider-Man: Into The Spider-Verse terasa seperti terjun ke dalam halaman komik.
New York tidak pernah terasa semegah ini. Peperangan antara superhero dan super-villain tidak pernah terasa semengesankan ini. Dan melompat dan berayun-ayun diantara gedung-gedung Manhattan tidak pernah terasa seseru ini. Dalam beberapa adegan, pembuat Spider-Man: Into The Spider-Verse menghasilkan visual yang sangat trippy. Efeknya seperti menonton film 3D tanpa kacamata. Sekuens Miles Morales dan Peter B. Parker bertemu untuk pertama kalinya dan menerjang New York dengan jaring laba-laba menempel ke kereta adalah salah satu momen paling menggetarkan dalam film ini.
Dengan visual yang semegah itu, pembuat film ini tidak melupakan komponen utama film ini: emosi. Spider-Man: Into The Spider-Verse kaya akan emosi. Sudah berapa kali kita menyaksikan cerita tentang bagaimana seorang nobody berubah menjadi pahlawan dan akhirnya nasib dunia ada di tangan dia? Hampir setiap film superhero mempunyai premis ini. Spider-Man: Into The Spider-Verse masih memegang teguh ramuan mujarab ini. Dan hasilnya cukup mencengangkan karena rasanya sangat manis dan tulus. Ketika kita menyaksikan bagaimana Miles Morales dan Peter B. Parker saling menginspirasi satu sama lain, kita ikut terbawa perasaan.
Dengan barisan pengisi suara yang begitu tokcer, Spider-Man: Into The Spider-Verse menunjukkan bahwa sebasi apapun formulanya, rasanya akan menjadi baru lagi ketika si pembuatnya mau mengolah bahannya dengan baik. Menyaksikan Spider-Man: Into The Spider-Verse rasanya seperti bermain sekali lagi dengan kawan-kawan lama.
(ken/ken)
smithmightforanis72.blogspot.com
Source: https://hot.detik.com/premiere/d-4350710/spider-man-into-the-spider-verse-berkenalan-sekali-lagi-dengan-spider-man
0 Response to "Into the Spider Verse Funny Frames"
Post a Comment